KESUSASTRAAN JEPANG

Seperti juga kesusastraan yang lain, sastra Jepang dimulai dengan sastra lisan, yang kemudian dialihkan dalam bentuk tulisan. Naskah tertua yang sampai sekarang diketahui dalam sastra Jepang ialah Kojiki dan Nihongi atau Nihonshoki yang berasal dari awal abad ke 8 masehi. Semuanya ditulis dalam huruf Cina (kanji). Baru dalam naskah Man-Yooshuu (Selaksa Helai Dedauanan) yang merupakan bunga rampai puisi Jepang pertama, tidak lagi digunakan huruf Cina. Bunga rampai yang sangat monumental itu disusun selama ratusan tahun, memuat lebih dari 4.500 buah sajak menggunakan bentuk huruf yang disebut Man-Yoo-Gana, yaitu turunan dari huruf Cina tetapi digunakan secara fonetik (bunyi).
Sepanjang sejarahnya Jepang mengalami dua gelombang pengaruh asing yang sangat besar akibatnya bagi perkembangannya sendiri sebagai bangsa. Gelombang yang pertama ialah pengaruh Cina yang dimulai pada abad ke empat masehi dan berlangsung selama ratusan tahun. Bangsa Jepang tidak hanya mangambil huruf dan sastra Cina, melainkan juga dengan tata sosial dan agama budha. Meskipun ternyata semua pengaruh itu dicernakan dengan baik, sehingga tumbuh menjadi sesuatu yang khas bersifat Jepang. Namun demikian hingga saat inipun Jepang tidak mampu melepaskan diri dengan pengaruh itu sepenuhnya. Contohnya huruf kanji yang masih mereka pakai sampai sekarang dalam penulisan. Memang huruf kanji yang mereka pakai mengalami perkembangan dibanding dengan kanji asalnya yaitu Cina. Agama budha yang masih dipeluk oleh kebanyakan orang Jepang, dan sistem penulisan nama yang mendahulukan nama keluarga dari pada nama sendiri juga merupaka bukti kalau bangsa Jepang masih dipengaruhi oleh budaya Cina.
Gelombang yang kedua terjadi pada abad ke 19 dan masih belangsung hingga sekarang. Gelombang itu menerjang masyarakat setelah nahkoda perry dari Amerika serikat memaksa Jepang untuk membuka pintunya bagi orang-orang luar (terutama Barat) hingga keterkurungan Jepang selama dua setengah abad berakhir dan yang kemudian diikuti oleh kebijakan kaisar meiji yang secara besar-besaran mengirimkan orang-orang Jepang yang pandai untuk mempelajari segala macam bidang keahlian dari dunia barat. Setelah perang dunia kedua berakhir, yaitu setelah Jepang untuk pertama kalinya dalam sejarah dikalahkan oleh bangsa asing dalam peperangan, gelombang pengaruh itu sudah tidak tertahan-tahan lagi. Termasuk juga dalam bidang bahasa: kata-kata asing, terutama dari bahasa Inggris, masuk dengan derasnya. Kata-kata itu diambil tidaklah semata-mata untuk memperkaya bahasa Jepang saja dengan konsep-konsep yang sebelumya tidak terdapat dalam bahasa Jepang, melainkan mengambil juga kata-kata yang sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa Jepang. Kata-kata pinjaman yang baru itu ternyata mampu mengalahkan kata-kata bahasa Jepang yang asli. Ada puluhan ribu kata asing, bahkan juga berupa ungkapan-ungkapan, yang masuk kedalam bahasa Jepang dan dipergunakan secara luas dalam pemakaian sehari-hari. Kata-kata yang berasal dari bahasa asing, dalam bahasa tulisan selalu ditulis dengan huruf katakana, sehingga secara fonetis disesuaikan dengan lidah Jepang.
Dalam dunia sastra pengaruh itu telah tampak sekitar dua puluh tahun setelah kaisar Meiji naik tahta (pada tahun 1868). Pada tahun 1882 terbit sekumpulan terjemahan puisi Inggris dan Amerika dalam bahasa Jepang. Tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 1885 Tsubouchi (1885-1935) menerbitkan sebuah buku teori sastra yang berjudul esensi roman (Shoosetsu Shinzui) yang di dalam pengantarnya mempersalahkan masyarakat Jepang sebagai konsumen sastra kerena telah membeli karya-karya fiksi sensasional dan pornografis, sehingga banyak pengarang yang berlomba memenuhi selera tersebut. Dia sendiri kemudian menulis roman tabiat mahasiswa modern (toosei shosei katagi) yang mengamalkan konsepnya tentang roman itu.
Tetapi karya penting pertama yang dianggap sebagai pembuka zaman baru dalam sastra Jepang, ialah sebuah roman yang ditulis oleh Futabatei Shimei (1864-1909) yang berjudul Awan Berarak. Roman itu dianggap bukti betapa mendalam sudah pengaruh barat dalam masyarakat Jepang dalam tempo belum cukup seperempat abad. Dalam roman itu tokoh utamanya berlainan dengan tokoh utama yang biasa kita jumpai dalam karya fiksi Jepang sebelumnya: ia bukan seorang samurai perkasa yang selalu dibarengi oleh nasib baik, melainkan seorang muda yang kehilangan pekerjaan, malu-malu di depan kekasihnya, ditertawakan oleh kawan-kawannya.
Sesudah itu muncullah para pengarang lain yang kian menunjukkan kemampuan yang kian tinggi dalam seni penulisan roman. Dua orang penting yang harus segera disebut ialah mori oogai (1862-1922) yang pada tahun 1890 menerbitkan gadis penari (maihime) dan natsume sooseki pada tahun 1867-1916 yang pada tahun 1905 menerbitkan romannya yang pertama aku seekor kucing (wagahai wa neko de aru) yang mendapat sambutan hangat, dan segera pula disusul oleh roman-roman lainnya yang sekarang telah dianggap sebagai karya-karya klasik dalam sastra Jepang.
Kedua pengarang dalam karya-karyanya memperlihatkan pengaruh sastra barat. Hal itu tidak mengherankan, karena keduanya bukan saja mempelajari sastra Barat, melainkan juga Pernah belajar di Eropah dikirimkan oleh pemerintah: Mori Oogai belajar di Jerman selama empat tahun dari tahun 1884 sampai 1888 dan netsume sooseki belajar di Inggris selama tiga tahun dari tahun 1900 sampai 1903. dalam bidang puisi pengaruh dari eropa tampak pula. Penyair-penyair Inggris seperti shelley, eliot dan lain-lain menjadi anutan banyak penyair muda Jepang pada waktu itu. Juga para penyair simbolis perancis sangat mereka kagumi dan ikuti. Aliran-aliran kesusastraan yang muncul di eropah seperti dadaisme dan surrealisme segera beramai-ramai diikuti. Dengan sadar para penyair Jepang modern itu memutuskan diri dari akar tradisi puisi Jepang atau Cina klasik. Dalam hubungan ini patut disebut nama shimazaki toosan (1872-1943) yang pada tahun 1896 menerbitkan buku kumpulan wakana (wakana shuu) dan Hagiwara Sakutaroo (1886-1942) yang dianggap sebagai penyair Jepang modern yang paling unggul.
Tetapi ada satu hal yang menarik dalam perkembangan sastra Jepang yang membukakan diri terhadap serba pengaruh yang datang dari luar itu. Ketika gelombang pengaruh asing pertama melanda sastra Jepang, yaitu pengaruh yang datang dari negeri Cina, maka kegiatan menulis karya sastra yang bersifat Jepang asli tidaklah lenyap karenanya. Bunga rampai Man-Yooshuu merupakan bukti nyata mengenai hal itu. Menurut para ahli, sajak-sajak yang dimuat dalam Man-Yooshuu amat sedikit sekali mendapat pengaruh dari Cina, bahkan dapat dianggap sebagai karya puisi Jepang murni. Pada bagian permulaan abad kesebelas (11), yang merupakan salah satu puncak keemasan sejarah sastra Jepang, muncul karya-karya klasik seperti Kisah Genji (Genji Monogatari) yang ditulis oleh Murasaki Shikibu dan Buku Bantal (Makura No Soshi) oleh Sei Shoonagon. Kedua penulis karya utama Jepang itu adalah wanita; yang tidak tercatat kelahiran dan kematiannya.
Ternyata karya-karya sastra lain pada zaman itu banyak ditulis oleh wanita pula. Mengapa justru wanita yang menulis karya-karya besar yang sekarang malahan menjadi kebanggaan bangsa Jepang?
Atas pertanyaan demikian telah banyak jawaban yang telah dikemukakan orang. Salah satu jawaban itu menyatakan bahwa para pengarang laki-laki Jepang pada masa itu berlomba-lomba menulis karya dalam bahasa Cina, karena pada masa itu menulis dalam tradisi sastra Cinalah yang dianggap utama. Maka kegiatan menulis dalam bahasa sendiri, diserahkan saja kepada wanita yang dianggap kurang kerja. Salah seorang sastrawan Jepang yang menulis dalam bahasa Cina pada masa itu dan karyanya dianggap luar biasa indahnya adalah Sugawara No Michizane (845-903). Selain terkenal sebagai penyair, dia pun terkenal juga sebagai sarjana yang pandai, sehingga setelah meninggalnya, orang Jepang menganggapnya sebagai dewa ilmu pengetahuan.
Meskipun karya-karya Murasaki Shikubu dan Sei Shoonagon itu menunjukkan bahwa dalam gelombang pengaruh sastra Cina, orang-orang Jepang terus menulis karya-karya sastra yang sedikit memperlihatkan pengaruh Cina. Kisah Genji merupakan roman tertua di dunia dan sampai sekarang dianggap contoh keunggulan sastra Jepang. Karya yang sudah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa modern itu telah berkali-kali difilmkan. Sedangkan untuk para pembaca Jepang modern, roman itu telah berkali-kali dituliskan kembali oleh beberapa orang pengarang Jepang modern, diantaranya oleh Enchi Fumiko, seorang pengarang wanita terkenal, dan oleh Tanizaki Jun-Ichiroo (1886-1965), salah seorang pengarang roman Jepang modern yang terkemuka. Dan pengaruh dari roman itu sampai sekarang masih terasa dan tampak dalam sastra Jepang. Pendeknya selama kira-kira seribu tahun sampai sekarang, roman Kisah Genji itu masih tetap unggul.adapun buku bantal yang merupakan esai yang sudah banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa modern, dianggap sebagai karya utama sastra klasik Jepang yang mempunyai keindahan bahasa yang luar biasa. Bahkan beberapa orang pengritik mengatakan bahwa bahasa yang dipakai oleh sei shoonagon tidak tertandingi oleh bahasa yang dipakai oleh murashaki shikibu. Dan dalam buku yang tebalnya lebih dari seribu halaman ini, hamper-hampir tidak terdapat kata-kata dari bahasa Cina. Sungguh mengherankan karena justru ditulis pada masa tatkala kehidupan sastra Jepang didominasi oleh sastra Cina, seperti juga seluruh bidang kehidupannya yang menyerap pangaruh yang serba Cina.
Juga sekarang, ketika gelombang pengaruh sastra barat sudah sangat mendalam dalam masyarakat, sehingga bentuk puisi barat pun sudah sangat popular, ternyata bentuk-bentuk puisi klasik Jepang yang asli seperti haiku dan tanka, masih tetap digemari dan ditulis orang. Mamang tatkala perang dunia kedua baru selesai, ada semacam prasangka terhadap penyair haiku dan tanka, yaitu dikhawatirkan akan membangkitkan kembali nasionalisme Jepang yang dianggap membahayakan karena telah menyeret Jepang ke dalam kancah perang dunia- seperti halnya aggapan terhadap agama Shintoo-, tetapi prasangka yang bersifat politis itu akhirnya lenyap sendiri. Sekarang di Jepang terdapat berpuluh-puluh majalah yang khusus untuk haiku dan khusus untuk tanka. Bahkan setiap diselenggarakan perlombaan menulis tanka. Dalam kesempatan itu, kaisar, permaisuri, putra mahkota, dan calon permaisuri pun masing-masing menciptakan sebuah tanka dengan judul yang sudah ditetapkan sebelumnya sebagai tema perlombaan tahun ini.
Haiku sebagai bentuk puisi tradisional Jepang ternyata tidak hanya digemari oleh orang Jepang. Banyak orang asing yang tergila-gila kepada bentuk puisi tersebut, sehingga bukan saja mereka menerjemahkan haiku Jepang ke dalam bahasanya, melainkan juga mencoba menulis bentuk haiku dalam bahasanya sendiri. Buku kumpulan haiku yang ditulis dalam bahasa Inggris dari tahun ke tahun bertambah jumlahnya. Dalam bahasa-bahasa lain pun ada orang yang berbuat seperti itu. Sedangkan di Amerika serikat beberapa sekolah menengah mengajarkan haiku dan mengajar siswanya untuk menciptakan haiku- dalam bahasa Inggris.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar