BUNGA KERING PERPISAHAN
Di nisan suaminya
Ia taburkan melati dan kenanga
Sambil melafalkan doa
Perempuan itu Dewi namanya.
Terbius rasa pedih
Ia mohon ampun dengan suara lirih
Segala yang di dadanya terasa berat,
Segala yang di sekitarnya semakin pekat.
Sepuluh tahun sudah ia hidup
Bersama Joko, suami pilihan Ayah
Perkawinannya selalu redup
Karena Albert pilihan hatinya.
Maafkan aku, suamiku, tangis Dewi.
Sepuluh tahun lamanya sudah
Kita menikah –
Tapi tak mampu jua aku mencintaimu.
Sudah kuberikan segalanya padamu
Tapi rupanya bukan engkau milik hatiku.
Bukan engkau inti angan-anganku.
Joko, apa dayaku?
Ditaburkannya bunga sekali lagi
Sambil menelusuri isi hati,
Izinkan kuserahkan sisa hidup ini
Kepada lelaki yang kucintai.
Kini kau di alam baka –
Setelah sepuluh tahun yang tanpa warna,
Baru sepenuhnya mataku terbuka:
Cinta memang tidak bisa dipaksa.
Di kamarnya yang sunyi
Dewi membuka almari;
Diambilnya sebuah kotak kecil berwarna nila
Yang sejak menikah tak pernah disentuhnya.
Dengan gemetar kotak dibukanya:
Mawar kering itu masih di sana;
Terbayang olehnya Albert, kekasih hatinya,
Dan tersengat jiwanya oleh kisah lama.
Seolah didengarnya kata pemuda itu
Di saat perpisahan sepuluh tahun lalu,
Simpan bunga kering ini, Dewiku,
Sampai kau terbebas dari belenggu.
Kalau sampai waktunya nanti,
Kalau kita memang jodoh sejati,
Kirimlah bunga ini padaku kembali
Dan aku akan datang padamu. Aku janji!
Tahun delapan puluhan –
Mereka kuliah, satu angkatan;
Bersahabat? Tak usah ditanya.
Cinta? Nanti dulu, agama berbeda.
Dewi sejak awal merasa
Albert lelaki istimewa,
Tapi Dewi seorang Muslimah
Sedangkan Albert anak pendeta.
Pemuda itu selalu berkata,
Aku suka ke gereja, tapi tak pasrah buta
Pada satu agama;
Aku hanya ingin menyadap intinya.
Sering disampaikannya kepada gadis itu
Segala yang dengan baik dikuasainya
Dari pengalaman, dari buku –
Dan Dewi tak pernah bosan mendengarnya.
Umat manusia, ujar Albert,
Sudah lebih dari 150 ribu tahun umurnya;
Berturut-turut agama pun diturunkan,
Diwartakan, dipertengkarkan.
Manusia lebih tua dari agama
Sudah ada cinta sejak manusia diciptakan-Nya,
Cinta lebih tua dari agama,
Janganlah agama mengalahkan cinta.
Begitulah Albert, itulah logikanya.
Namun, di balik pikirannya yang liar kedengarannya
Albert adalah pemuda yang suka menolong sesama
Lembut hatinya.
Ia kenal pemuda itu sejak kecil
Dari desa terpencil
Sama-sama hijrah ke Jakarta
Untuk merebut cita-citanya.
Dulu, semasa bocah
Pernah mereka menyeberang sungai ke sawah
Melewati jembatan bambu – tiba-tiba patah!
Dewi tercebur, ya Allah!
Sigap Albert melompat menolongnya
Sementara kawan-kawan lain bengong, diam saja;
Ditariknya Dewi, diseretnya melawan arus deras
Diangkatnya ke tepi sungai – dibimbingnya rebah di teras.
Suatu malam Dewi bermimpi:
Ia dibonceng Albert bersepeda
Lepas gembira melewati sawah dan bukit –
Inikah pertanda mulai bersemi cintanya?
Semakin lama semakin deras perasaan sayangnya,
Tapi sejak mula disadarinya juga:
Mereka berlainan agama.
Siapa gerangan yang akan mensahkan cinta remaja?1
Terbayang olehnya
Pagar pembatas itu: memanjang di selatan
Menghalang di utara,
Di barat, di timur, di kiri dan kanan.
Semakin lama semakin dalam Dewi rebah
Dalam pelukan Albert yang gagah
Tapi ia tahu pasti
Perpisahan tak akan bisa dihindari.
Waktu yang diduga datang jua!
Dewi duduk di hadapan ayahnya
Yang dengan lugas dan tegas bicara
Tentang hakikat cinta dan agama:
Aku sangat malu
Dan aku tak akan pernah mau
Menjadi orang tua
Yang kena murka Allah.
Aku tak akan tahan
Menjadi insan dilaknat
Hanya lantaran membiarkan
Anaknya menempuh Jalan Sesat!
Dan ujung-ujungnya
Sampai juga pesan utama:
Joko pemuda santri ia perkenalkan
Sangat cocok menjadi suami Dewi.
Tekad Ayah bulat
Niatnya pekat
Albert harus dilupakan
Karena Joko suami Dewi di masa depan.
Tak sepatah kata terucap dari Dewi,
Bibirnya terkunci.
Gadis itu tertunduk, jiwanya berontak.
Tapi pesan ayahnya? Tak bisa ditolak!
Teringat ia akan masa kanak.
Tinggal di sebuah rumah sederhana;
Ayah kadang pulang larut.
Waktu itulah ibunya suka bertitah,
Lihatlah baik-baik, Nak,
Kita bisa menikmati sore dan malam
Tapi ayahmu masih mencari nafkah — berjibaku
Kita ini bagaikan benalu!
Jangan sekali-kali kaudurhakai
Pohon perkasa, sandaran hidup kita,
Jangan pernah kauganggu nurani ayahmu.
Hidup Ayah lurus rus rus rus,
Prinsip agamanya kuat wat wat wat –
Kaku?
Beku?
Katanya pada suatu hari,
Manusia diciptakan berpasangan;
Walau pemuda itu baik padamu
Tetapi ia lain agama.
Itu artinya
Ia bukan jodoh
Yang dikirim Allah
Untukmu!
Sejak kecil ia tak boleh membantah Ayah
Hidupnya selalu siap diperintah
Walau kali ini permintaan Ayah berat
Ia harus patuh bulat.
Aku akan menikah dengan Joko
Aku harus melupakan Albert
Bisa ataupun tidak
Aku harus bisa, gumam Dewi.
Dan Albert? Ia berbeda;
Rumahnya di atas angin
Baginya agama sama saja,
Tetapi menghadapi Dewi harus panjang nalarnya.
Benar, katanya kepada dirinya sendiri,
Banyak orang tidak peduli
Dan mereka ikuti saja kata hati,2
Tapi Dewi bukan selebriti!
Ia temui para ahli Kitab
Dan diketahuinya, masing-masing punya sikap.
Itu haram mutlak! kata salah seorang
Sambil menunjukkan hukum yang jelas dan tegas.3
Yang lain bersikap sebaliknya
Berdasarkan alasan yang juga mengena.4
Pemuda itu terbuka mata
Tak ada keseragaman ternyata.
Ada pandangan yang menutup pintu kawin beda agama,5
Tapi ada juga pandangan lain yang menerima.6
Wahai, apa makna semua?
Apa peduliku?
Mengapa aku harus tunduk pada aturan itu?
Bukankah cinta lebih tua dari agama dan negara?
Namun Dewi tetaplah seorang santri
Patuh pada orang tua adalah tradisi
Cintanya pada Albert yang mendalam
Sekuat tenaga ia benam.
Joko itu ternyata cerdas dan santun,
Siapa tahu hidup kami nanti bisa rukun.
Pikirannya menerima lelaki itu
Ingin dicobanya hidup baru.
Tapi terhadap Joko mengapa hatinya seperti batu?
Dewi diam terpaku.
Mengapa pikiran dan hatinya tidak bersatu?
Dewi mulai ragu.
Albert selalu bergelora
Mampu menggetarkannya sampai ke surga,
Tapi Joko alim dan dingin
Hatinya beku seperti patung lilin.
Pernikahan pun berlangsung meriah
Demi Ibu dan Ayah, aku pasrah,
Akan kulupakan Albert, dan setia kepada suami,
Demikian janji Dewi kepada dirinya sendiri.
Hari silih berganti, tahun datang beruntun,
Keduanya menjalani hidup yang tertuntun,
Joko pegawai negeri biasa
Dewi karyawan perusahaan swasta;
Hampir tak pernah mereka bertengkar,
Kata orang keluarga Dewi tenang.
Tapi kenapa hidupku ini hambar?
Kenapa Eros cinta pada Joko tidak juga bertandang?
Di benak Dewi bayangan Albert kerap melintas
Dan rindunya memanas:
Terbayang olehnya boncengan sepeda di pematang sawah,
Terbayang sore yang lepas dan bunga merekah.
Kepada malam yang sepi ia bertanya,
Apakah gejolak cinta hanya datang satu kali saja
Dan itu hanya untuk cinta remaja?
Mengapa setelah menua
Getaran cinta tak lagi ada?
Mengapa rasa itu hanya mekar kepada Albert, pacar masa remaja?
Mengapa tidak kepada Joko, suaminya?
Malam yang sepi tak pernah menjawab pertanyaannya.
Tapi Aku harus jadi Muslimah teladan
Patuh pada suami,
Taat pada orang tua,
Dan bakti kepada agama.
Itu harga mati, tandasnya.
Bertahun-tahun sudah mereka berkeluarga
Tak juga lahir ada anak mereka;
Wahai, Joko ternyata memiliki kelainan
Ia tak bisa berketurunan.
Beberapa kali ia jatuh sakit.
Awalnya dianggap biasa saja
Semua manusia lain mengalaminya:
Sakit dan sehat seperti musim, datang dan pergi.
Namun, di tahun kesembilan pernikahan
Sakit Joko semakin berkepanjangan,
Semakin parah –
Tubuhnya tampak bertambah lemah.
Sebagai istri yang berbakti
Dewi memutuskan berhenti bekerja
Agar bisa merawat suami
Dan tinggal di rumah saja.
Tak putus-putus juga Dewi berdoa
Agar Joko kembali seperti sedia kala;
Meski ia sadar sepenuhnya
Bahwa itu bakti semata, bukan rasa cinta.
Dan hari itu pun tiba juga akhirnya!
Vonis dokter: Joko tak bisa bertahan lebih lama.
Dewi pun mendadak merasa bersalah
Mengapa di lubuk hatinya tetap ada masalah.
Dan ketika suaminya harus pergi
Untuk menjumpai Khalik,
Suatu malam Dewi bertahajud.
Jiwanya menangis, pikirannya ngelangut.
Ya Allah, ampunilah aku.
Segala cara telah kutempuh
Segala tenaga telah tercurah
Agar bisa menjadi
Istri yang baik, istri yang setia,
Tetapi mengapa tak kunjung terbit
Nafsu cintaku kepadanya?
Mengapa justru Albert yang selalu ada
Di pelupuk mata?
Ya Allah, aku telah gagal jatuh cinta
Kepada suamiku sendiri!
Setahun sudah Dewi menjanda,
Ia mulai banyak membaca.
Hidup sebatang kara memaksanya menjadi baja
Ia sudah kembali bekerja.
Ia mulai lepas dari tradisi
Dihayatinya hidup yang mandiri
Filsafat dan sastra membentuk dirinya,
Ia bukan Dewi yang dulu lagi.
Suatu ketika
Ia punya niat ke kampus
Untuk melepas rindu
Masa-masa mahasiswinya dulu.
Ia duduk di taman yang dulu juga.
Suasana sudah berubah
Tetapi ada yang masih tinggal –
Masih bisa dihirupnya.
Bangku yang itu juga
Sudah berubah warna.
Di situ ia dulu masih sempat ketemu Albert
Sebelum hari pernikahan, sepuluh tahun lalu.
Saat itu senja mulai gelap
Mereka sadar segera harus berpisah;
Di pojok taman itu
Sambil berjalan Albert berkata,
Jika kautinggalkan aku
Karena tak lagi mencintaiku,
Aku pasrah.
Jika kau menikah dengan lelaki lain
Karena kamu mencintainya,
Aku terima.
Tapi aku tahu, Dewi,
Bukan itu alasanmu meninggalkanku.
Kauhancurkan cinta kita
Demi baktimu kepada ayahmu.
Demi baktimu pada tafsir agama!
Ia ingat magrib di taman itu.
Ia menangis tanpa suara.
Tak ada lagi yang bisa diusahakan:
Albert harus merelakan perpisahan.
Sebelum berpisah Albert menyerahkan
Sekuntum mawar.
Di pikirannya kata-kata itu masih melekat
Yang kadang bisa membuat hari-harinya pekat.
Dewi, simpanlah mawar segar ini.
Pada waktunya nanti
Ia akan kering dan layu;
Apa yang akan terjadi
Tak akan bisa diduga
Kecuali nasib bunga ini.
Kita tak tahu masa depan.
Jika ternyata kau memang jodohku
Dan kelak telah siap untuk bersatu denganku,
Kirimlah bunga ini sebagai isyarat;
Aku akan segera menghampirimu –
Ini janjiku.
Aku percaya dalam hidup
manusia jatuh cinta hanya sekali saja
Cintaku sudah tunai untukmu.
Dewi tidak bisa lain
Kecuali diam saja,
Dan sambil menundukkan kepala
Ia bertanya apakah Albert akan menikah juga.
Aku akan menikah dengan petualanganku –
Gunung-gunung tinggi akan kutaklukkan
Akan kujelajahi bumi yang diciptakan-Nya
Dan akan kusampaikan pertanyaanku
Di puncak setiap gunung yang kudaki,
Tuhan, mengapa tak Kau-restui cintaku
Kepada sesama ciptaan-Mu
Hanya karena, ya Allah,
Hanya karena agama kami beda?
Padahal Kau jugalah yang menurunkannya.
Tersekat tangis Dewi, dibawanya mawar itu,
Disimpannya dalam sebuah kotak
Yang akan menjaga rahasia abadi
Cintanya kepada seorang laki-laki.
Cinta sejatinya.
Cinta hatinya.
Ya, Tuhan, perkenankan aku menikah;
Bimbinglah aku agar setia pada suami
Dan jangan biarkan aku
Membuka kotak ini lagi.
Namun, apa yang tak berubah
Di bawah langit?
Pada suatu hari dibukanya juga
Kotak itu: benar, mawar itu kering dan layu.
Tapi masih diciumnya wangi baunya.
Seperti gemetar mawar layu itu di tangannya,
Ke mana gerangan hidup ini mengarah?
Muncul kembali bayangan yang sudah jadi arwah.
Di seberang jendela: langit tak ada batasnya
Awan masih tetap berkelana.
Kali ini biar kuturuti saja suara hati
Tiba sudah saatnya, berbakti kepada diri sendiri.
Ya, Allah, telah kuikuti lurus ajaran-Mu
Seturut tafsir orang tuaku;
Ayah dan Ibu, telah kuikuti pula keinginanmu
Menikah dengan lelaki yang bukan pilihanku;
Suamiku, telah kucoba melayanimu
Setia padamu sampai akhir hayatmu.
Kini tiba giliranku
Menjadi tuan bagi diri sendiri –
Izinkan aku mengikuti suara jiwaku,
Hanya tunduk pada titah batinku.
Dipandangnya lagi mawar kering itu.
Sudah tetap niatnya:
Akan disampaikannya kembali ke pemiliknya
Secepatnya. Ia pasti masih menunggu, pikirnya.
Langit tetap yang itu juga
Yang dulu mendengar janji kekasihnya:
Kapan pun bunga itu dikirim kembali
Lelaki itu akan siap menerimanya lagi.
Menakjubkan: cinta ternyata terus bertahan
Melampaui masa dan berbagai perbedaan;
Pernikahan boleh dibatalkan
Tetapi meski di dalam sekam, cinta tak padam.
Kepada Ayah dan Ibu Dewi sampaikan niatnya
Untuk kembali ke cinta lamanya.
Tapi apa kata mereka berdua?
Lebih baik menjanda daripada kawin beda agama!
Namun, sekarang ini Dewi berbeda,
Ia tetap sayang orang tua
Ia tetap saleh soal agama.
Tapi sikap hidup? Kini ia tegak pada pendiriannya.
Ayah menghalanginya sekuat tenaga,
Menikah beda agama hanya mengirimmu ke neraka!
Jawab Dewi, Ayah ini zaman Facebook dan Twitter
Bukan era Siti Nurbaya!
Dunia sudah berubah
Bukan manusia untuk agama
Tapi agama untuk manusia
Bagi Ayah, beda agama itu masalah.
Bagiku tidak!
Ayah memang merawat fisikku sejak kecil.
Tapi jalan hidupku bukan punya Ayah!
Ayah terkaget alang-kepalang.
Dewi yang patuh sudah tiada,
Di hadapannya berdiri Dewi yang berbeda
Betapa dunia memang sudah berubah.
Hati Dewi sudah bulat
Cintanya pada Albert memanggilnya kembali;
Terbayang era bocah
Ia menemani Albert bermain layang layang di sawah.
Maka diposkannya bunga itu ke alamat kekasihnya.
Hari berganti hari, pekan berganti pekan,
Dewi tertegun: mengapa tak kunjung ada jawaban?
Ya, ya, apakah janji sudah dilupakan?
Tibalah juga sore tak terduga itu:
Seorang ibu tua mengetuk pintu,
Dan ketika dibuka,
Astaga! Ibunya Albert rupanya.
Dipeluknya Dewi, disampaikannya berita itu.
Sejak kamu menikah,
Albert tak betah lagi di rumah.
Didakinya gunung demi gunung
Entah di negeri mana –
Seperti ada yang ingin dicarinya
Seperti ada yang ingin diprotesnya.
Dan setahun lalu aku mendapat berita
Albert, anakku laki-laki itu
Tak akan pulang kembali –
Ia meninggal di sebuah gunung
Dan dimakamkan di sana.
Suara perempuan tua itu terbata-bata
Tapi kuasa menahan air matanya.
Dan Dewi? Ia menjerit sekuat-kuatnya
Sambil memeluk ibu tua itu.
Ada pesannya, sambung ibu Albert,
Sebelum pendakiannya yang terakhir
Albert menitip surat
Yang hanya boleh disampaikan
Kalau kuntum mawar sudah kaukirimkan.
Tak sabar dengan tangan gemetar
Dibukanya surat itu,
Masih dikenalinya tulisan tangan Albert –
Tetap seperti dulu.
Dewi, tulis Albert,
Mungkin sudah kaukirim kembali
Bunga kering itu sekarang.
Tapi yang akan kauterima
Hanya surat ini.
Aku tak berniat mengingkari janji!
Aku sekarang mungkin di alam lain
Dan janjiku tetap seperti dulu:
Cintaku hanya untukmu
Yang tak sampai hanya karena kita beda agama.
Dipeluknya surat itu
Diciumnya hingga basah oleh air mata
Hatinya menjerit
Melolong sampai jauh, jauh sekali…
0 komentar:
Posting Komentar